Ritual Jalan Kaki Mengitari Dieng Bersama Seorang Pemuda dari Ceko

Kali ini bukan kali pertama aku mengantar orang menuju kota itu. Pun orang yang ku antar tidak selamanya setuju waktu kali pertama aku sarankan untuk sekalian menuju kota itu sehabis kepanasan mendaki lereng terjal Borobudur. Sebut saja namanya Tomas, si turis muda dari Republik Ceko yang umurnya belum genap 24 tahun. Dia yang selalu menolak saat aku tawarkan list hotel-hotel megah dengan tarif miring sewaktu berkeliling Jogja. Dia adalah satu-satunya turis yang juga menolak waktu aku sodorkan daftar tempat makan ‘khas bule’ dengan menu-menu yang aduhai. Awalnya aku kira dia kekurangan uang atau habis ketipu calo dari agen travel ain. Aku baru paham setelah genap dua hari menemaninya menjelajah sawah-sawah dan jalan-jalan di desa yang sama sekali tak ada di panduan kunjungan turis di Dinas Pariwisata daerah dan agen travel manapun.

Tomas adalah pemuda yang suka sekali belajar budaya baru. Bukan hanya kata ‘budaya’ seperti pada brosur-brosur objek wisata di bandara atau di hotel-hotel dengan gambar tarian tradisional dan candi-candi. Menurut Tomas, budaya adalah segala hal yang terkait dengan tempat itu, termasuk makanannya, tempat tinggalnya, pekerjaan orang-orangnya, dan bahkan bahasa sapaan sehari-harinya. Tomas suka sekali makan masakan rumah, termasuk di rumahku. Dia sempat menginap semalam dan menyatap masakan nenekku yang ‘ala desa’. Nasi putih, sup kacang merah dan lele goreng favoritnya selama dua hari itu. Menurutnya dia akan gagal menjadi turis ketika dia makan makanan ‘bule’ seperti burger dan teman-temannya. Itulah yang membuatnya menjadi turis yang paling aneh dalam daftar ‘tourist guide’ ku selama ini.

ivan

Tomas langsung setuju ketika aku rekomendasikan kota bernama Wonosobo. Meskipun dia hanya melihatnya sekilas di peta yang dia beli waktu pertama kali tiba di Jakarta. Peta yang dia coreti dengan daftar terminal dan nama-nama objeknya. Dia tidak membawa smartphone ataupun tab canggih. Dia hanya ingin jalan-jalan sambil melihat pegunungan, sewah, ladang, dan air mengalir. Bahkan dia sempat meminta kuantarkan ke ladang tembakau dan merobek daunnya lalu dikunyahnya. Sungguh bukan tipikal turis yang pernah aku temui di manapun. Tidak ada kota yang menarik buatnya, apalagi tempat-tempat nongkrong dan dugem plus minuman keras. Dia hanya minum alcohol di Ceko karena udaranya yang beku. Dia terbiasa makan nasi sejak di Australia, lalu dia mencoba India, Thailand, lalu Indonesia. Wonosobo baginya adalah tujuan yang misterius, karena tidak ada dalam rencana perjalanannya.

Pada malam sebelum keberangkatan kami, aku sempat bercerita tentang Wonosobo. Dia agak sedikit tersesat dalam pembicaraan karena menurutnya tempat ini agaknya terlalu khayal. Termasuk saat aku jelaskan perihal ritual tahunan saat hari jadi. Dia penasaran sekali, mengapa di sebuah Negara yang sangat besar seperti Indonesia, bisa ada banyak sekali ritual di satu daerah dan di daerah lainnya sama sekali tidak ada. Dia sempat belajar Pencak Silat di Jogja dan juga belajar sedikit bahasa jawa. Ketika tiba di tempat Nenekku di Parakan, dia sedikit kebingungan karena bahasa Jawa yang aku gunakan dengan nenek dan tetanggaku jauh berbeda dengan Jogja. Dia juga masih belum paham bagaimana aku bisa menghapal nama-nama orang di kampungku yang jumlahnya mungkin ratusan. Itulah yang membedakannya dengan turis-turis biasa. Dia benar-benar belajar dan membandingkan.

Kami berangkat pagi-pagi dengan sepeda motor dari Parakan. Dia bersikeras tidak ingin memakai mobil sewaan atau travel karena dia ingin benar-benar menjadi orang local, kalau perlu kami akan berangkat dengan bus umum. Setelah setengah jam perjalanan, dia memintaku berhenti dan mulai melihat sekeliling. “Apakah ini Wonosobo?” tanyanya saat sampai di kebun teh Bedakah dekat Kledung. Aku tertawa dan menjawab dengan bahasa Inggris, “Not even close” (sama sekali bukan). Dan dia melihat peta lagi sambil melihat wajahku, karena mengira aku bercanda. Aku iseng saja katakan bahwa Wonosobo tiga kali lebih bagus dari ini. Lalu dia meminta aku untuk bergegas dalam lindungan kabut pagi dan perut yang belum terisi.

Sampai di terminal mendolo dia mulai paham, bahwa kami baru tiba di Wonosobo dan mulai melihat-lihat arah. Dia lalu berbisik dan bertanya tentang Dieng, tempat yang semalam kami bahas. Kami rehat sejenak di daerah kauman untuk sarapan sambil membahas tentang perjalanan ke atas (ke Dieng). Tomas mulai membuka dompet dan menghitung jumlah uang yang dibutuhkan. Aku sempat kaget karena dia membawa banyak uang receh 500an rupiah dan 5000 rupiah. Tomas bilang untuk orang-orang dijalan, mungkin maksudnya pengemis dan pengamen. Karena setahuku tidak ada pengemis di Dieng, maka aku sarankan untuk uang jajan kami saja.

Lalu tibalah kami di pintu masuk situs Dieng setelah berhenti beberapa kali mendinginkan pantat kami yang terlalu lama menempel pada jok motor. Disambut dengan sangat ramah oleh bapak penjaga yang berpakaian ala Tagana, lalu beliau menyalami kami. Beliau fasih bahasa inggris tapi Tomas mengajaknya bahasa jawa, kami diberi tiket dan hanya disuruh bayar satu saja karena kami pengunjung pertama. Di dekat candi sudah tertata rapi kursi dan juga umbul-umbul. Ternyata kedatangan kami tepat saat peringatan hari jadi dan ritual pemotongan rambut gimbal. Dengan agak susah aku jelaskan tentang rambut gimbal karena susah masuk diakal Tomas dan sebenarnya aku sendiri.

Sebelum menonton ritual, Tomas memutuskan untuk bereliling dieng, namun dengan syarat yang aku sendiri agak kurang setuju: Berjalan kaki. Untuk berkeliling sampai tlaga warna, kami harus berjalan sekitar 5km lebih. Tapi Tomas bilang kami akan baik-baik saja karena ini adalah tempat yang ‘Magical’. Ajaibnya dalam satu jam saja, kami berhasil mengitari situs hingga sampai ke kawasan  Kawah. Tomas banyak merenung saat melihat kawah, katanya dia merasa sedikit Relijius di tempat itu. Setelah beristirahat 10 menit sambil makan jagung rebus di warung kopi, Tomas mulai bercerita tentang rumahnya, tentang daerahnya, bahkan tentang negaranya. Tomas merasa sangat iri dengan kita orang Indonesia, khususnya orang Jawa yang diperbolehkan tinggal di ‘surga’. Tomas punya sebuah kebun kecil di samping rumah dan ditanami sayuran, dia kadang harus melihat banyak sayuran mati karena hawa yang terlalu dingin. Kadang juga benih yang gagal tumbuh karena tanahnya yang tidak subur. Ketika dia melihat Wonosobo, Dieng, berikut orang-orangnya, dia merasa bahwa negeri ini(Indonesia) bisa menjadi rumahnya, rumah impiannya.

Tak terasa sudah agak gelap, dan kopi kami tandas. Orang-orang sudah beranjak menuju kompleks candi untuk melihat ritual. Kami beruntung mendapat tumpangan petani kentang yang menuju ke sana dengan bak terbuka. Di perjalanan Tomas mengakui bahwa kakinya sangat pegal.. dan sandalnya hampir putus saat di Telaga Warna dan kami hanya tertawa mengingat perjalanan kami beberapa jam lalu. Oya, Tomas jarang sekali mengambil Foto, karena menurutnya kenangan terindah adalah di ingatan, dan bagaimana dia menikmatinya seperti saat dirumahku, di perjalanan, dan menjelajah dieng dengan kaki.

IMG_2474

Sorenya, kami mampir di warung Mi Ongklok sambil berpuas-puas makan tempe kemul. Aku mencoba memaksanya makan cabe rawit, tapi dia hanya memakan pucuk-pucuknya. Sehabis makan, Tomas masih ingin mencoba Geblek, sate jamur, dan kentang goreng. Lalu aku bertanya tentang ke-engganannya untuk tidur di hotel. Dengan singkat dia menjelaskan bahwa hotel adalah tempat yang palsu menurutnya. Keramahan dan kenyamanan hanya ada karena kita membayar dengan uang, berbeda dengan rumah Nenekku ataupun rumah kepala desa yang pernah kami inapi di Jogja. Tomas menyukai keramahan asli dan juga perasaan ‘dianggap’ saat berada di rumah. Dia lebih memilih menghabiskan uang untuk membayar makanan, mentraktir guide, membeli oleh-oleh dan bahkan kursus bahasa ataupun kursus Silat. Aku juga baru sadar karena dia dia mengaku pernah kursus membuat lotek dan tempe goreng di suatu rumah singgah. Sebenarnya Tomas enggan meninggalkan Wonosobo dan hawa dinginnya serta keramahan warganya, namun dia harus segera pulang. Aku pun harus pulang karena agensi bisa curiga jika aku tidak kembali ke Jogja dan melaporkan perjalanan kami. Oh, Tomas yang aneh, sesungguhnya kamu memberiku, kami banyak sekali pelajaran.

Kata Dieng kini mungkin tak asing lagi di Republik Ceko karena Tomas yang benar-benar jatuh cinta pada alamnya, pada orang-orangnya, dan pada kekayaannya. Tomas berjanji akan kembali lagi ke Indonesia dan khususnya ke Wonosobo saat perayaan ritual hari jadi. Hanya karena dia ingin menjadi bagian dari ritual, bagian dari orang-orang yang berkerumun dan berebut sesaji, ikut makan megana bersama, sambil menyaksikan anak-anak rambut bajang di arak, bukan sebagai turis, bukan sebagai bule, tapi sebagai warga Wonosobo yang terikat pada aroma mistis dan kabut romantisnya.

Untuk ‘Tomas’ yang tak pernah berhasil menjadi Turis.

***

—-

Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen #HariJadiWonosobo189

2 thoughts on “Ritual Jalan Kaki Mengitari Dieng Bersama Seorang Pemuda dari Ceko

    1. Iya mbak, kebetulan saya lebih suka dengan gaya narasi, dialognya cuma ada 1, itu saja tidak langsung..

Leave a comment